Redaktur : Mulyani Pratiwi
(Sumber
: jambi.antaranews.com)
(Ilustrasi
himbauan untuk tidak melupakan bahasa daerah.)
SERANG-
Februari menjadi saksi bisu tercetusnya Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh tepat di hari ke-21. Secara ilmiah, bahasa ibu merupakan bahasa yang
diajarkan pertama kali oleh para ibu. Salah satu unsur penting dalam bahasa ibu
ialah muatan moralitas yang disampaikan seperti nilai akhlak, nilai moral, dan
nilai kebaikan dalam bahasa itu sendiri.
Meskipun konsep bahasa ibu
dan bahasa daerah tidak sama, bahasa ibu kerap identik dengan bahasa
daerah. Hal tersebut disebabkan oleh
segelintir masyarakat Indonesia yang masih menggunakan bahasa daerah dalam
berkomunikasi. Sehingga bahasa ibu yang ada merupakan bahasa daerah yang
dikuasai sang ibu.
Beberapa kata dalam
bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa daerah. Hal ini membuktikan
bahwa bahasa nasional saja, masih melekatkan diri dengan bahasa daerah. Namun,
akibat terpaan dari budaya asing tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa
bahasa daerah itu kuno, norak dan lain sebagainya. Bahkan sebagian memilih
menghindarinya.
“Upaya dalam
mengeksiskan bahasa ibu atau bahasa daerah ialah dengan membangun kesadaran
bahwa bahasa ibu merupakan sumber ilmu.” Ujar
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Untirta,
Arip Senjaya.
Pak Arip juga
mengatakan bahwa dengan mengikuti lomba menulis bahasa daerah, ikut
berpartisipasi dalam kesenian daerah, menanggapi dan berdiskusi dengan bahasa
daerah. Membiasakan diri berbahasa ibu atau daerah di dalam kegiatan
keseharian, entah itu di kampus, kosan, kantin, atau di media sosial.
Bahasa ibu atau daerah kian
terkikis seiring kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan jika tidak digunakan
dengan bijak. Dalam penggunaanya, memang perlu untuk disesuaikan dengan situasi
dan kondisi.
Bahasa daerah adalah
sebagai harta bangsa ini yang begitu kaya di Indonesia. Karenanya bahasa daerah
merupakan cerminan identitas bangsa ini, cermin kita sebagai bangsa yang kaya
akan budaya dan bahasa.. Oleh karena itu, perlu dibiasakan dalam penggunaan
bahasa ibu tanpa rasa malu, sebagai salah satu cara kita berkontribusi dalam
melestarikan dan mempertahankan warisan budaya. Pemerintah juga diharapkan
dapat mendukung bidang pendidikan untuk menyelaraskan antara modernitas dan
tradisionalitas. Bersama menjaga agar jangan sampai bahasa ibu menjadi debu. (nsh/esw/newsroomfisip)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar