Redaktur : Hani Maulia
(Mukti
saat menjadi narasumber di Untirta TV program Kupas Untirta)
Pria
kelahiran 22 tahun silam, Abdul Mukti. seorang pria yang sedang menempuh
pendidikan sarjana Pendidikan Luar Biasa di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
semester 2 yang memiliki keterbatasan fisik sebut saja Tuna Netra yang sempat
menunda Pendidikan Sekolah Dasar Madrasah Ibtidaiyah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga
tahun karena orangtuanya tidak mempercayai anaknya untuk melanjutkan sekolah
normal karena khawatir jadi bahan cemoohan orang-orang. Tiga tahun berlalu, salah
satu guru dari adiknya menyarankan untuk melanjutkan sekolah khusus disabilitas.
Mukti memiliki dua adik, yang sama-sama menderita Tuna Netra. Setelah mendengar
kabar baik itu, Mukti langsung mencari tahu tentang sekolah khusus tersebut.
Selama di SMP Mukti sempat kaget dan
kebingungan melihat materi pembelajaran yang umum, karena di sekolah sebelumnya
lebih mengajarkan Sekolah Agama Islam.
Walaupun
sempat menganggur dan berhenti sekolah selama tiga tahun, ia selalu dibanjiri
prestasi akademik dan non akademik. Jenjang SMP ia sering mendapat juara di
lomba Catur, naik ke jenjang menengah atas ia mengikuti event Festival & Lomba seni Siswa Nasional (FLS2N) dengan
mengikuti lomba menyanyi, juara 3 Nasional Olimpiade Matematika di Yogyakarta,
juara 2 Nasional Catur di Makasar, mewakili kota Cilegon dalam MTQ (Musabaqoh
Tilawatil Quran) 2017 ke tingkat provinsi untuk lomba Qori’ah, dan yang
terakhir juara 3 catur di Tangerang,
Hobi
dan bakatnya menyanyi membawa Mukti bercita cita memliki sanggar seni khusus
untuk kaum disabilitas netra di kota kelahirannya Cilegon. “Saya berkeinginan
menciptakan sanggar musik, jadi yang nantinya bisa dipakai sebagai profesi atau
keahlian untuk kaum disabilitas netra, karena orang-orang seperti saya mayoritas
kalau enggak lari ke musik ya ke pijat,” ungkap Mukti saat ditemui Jumat
(23/2/2018) lalu. Keinginannyapun terlaksana namun anggotanya masih empat orang
karena terkendala alat yang masih pinjaman, dan kesulitan mendata orang-orang
yang ingin bergabung dalam sanggar mereka untuk sekedar belajar atau
berkontribusi lebih. Selesai menempuh pendidikan di sekolah, mukti melanjutkan
pendidikan tinggi sebagai seorang sarjana pendidikian Luar biasa yang
kontribusinya setelah lulus nanti berkeinginan mengajar anak-anak yang
membutuhkan ilmu namun terhambat oleh keadaan fisik ataupun biaya.
Selama
mengikuti perkuliahan, Mukti merasa kesulitan dalam hal sarana buku, seharusnya
tersedia buku Braille buku yang memudahkan tuna netra dalam mencari referensi
buku yang diberikan oleh dosen. Mukti harus kerja ekstra dalam menjalaninya. “Kalau
saya mau baca buku atau ada tugas harus cari reader sukarelawan yang mau bacain buku buat saya. Kalau ada tugas
yang harus mereferensi dan merangkum sebuah buku dan ditulis tangan saya harus
benar-benar ekstra cari pembaca, dan pembaca ini yang benar-benar mau
membacakan dan menuliskan kembali,” kata Mukti bercerita pada senja hari. Lika-liku
dalam kehidupan bukanlah sebagai tantangan baginya, namun sebagai pembelajaran
dan motivasi bagi hidupnya ke depan, jangan mengeluh dan terus semangat dalam
menjalani setiap rintangan kehidupan. (TNT/HNI/Newsroom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar