Reporter : Dea Ulfiani
Redaktur : Hani Maulia
Nina Yuliana (Dok. Fisip-untirta.ac.id)
“Sebenarnya yang eksotik di Banten itu masih banyak sekali, tidak
hanya Baduy, kenapa harus selalu Baduy?” itu yang selalu Nina Yuliana (37)
katakan ketika ingin melakukan penelitian kebudayaan. Ya, Nina Yuliana adalah
seorang dosen budaya di Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Dosen yang mulai mengajar di Untirta sejak tahun 2004 ini selalu mengajar
Komunikasi Antar Budaya. Setelah merasakan pergejolakan batin selama 2
semester, membuat Nina Yuliana menyadari bahwa budaya Banten tidak hanya
sekedar Baduy.
Perempuan kelahiran 8 Juni 1981 ini
baru lulus Stata 3 (S3) dari Universitas Padjadjaran pada tahun 2017. Disertasi
yang dilakukannya mengenai kebudayaan hajat dan paguyuban di Walantaka. Namun
sebelum melakukan penelitian tersebut, ia sempat meneliti tentang komunikasi
spiritual masyarakat di Baduy Dalam. Karena mengalami pergeseran tulang
belakang hingga tulang ekor membuat disertasinya terhambat dan tidak
dilanjutkan.
“Nah kemudian ibu sadari bahwa sebenarnya
yang eksotik di Banten itu masih banyak sekali, tidak hanya Baduy, kenapa harus
selalu Baduy, masih ada daerah lain seperti di Walantaka sendiri. Ibu tidak ngeuh kalau Walantaka itu kaya (budaya) sekali,”
ujarnya pada Jumat (20/4/2018).
Ibu tiga anak ini menyadari bahwa
di tempat tinggalnya, Kecamatan Walantaka, Kota Serang, juga memiliki
kebudayaan yang beragam. Ia menceritakan bahwa di Walantaka memiliki kebudayaan
hajat yang tidak biasa, mereka juga miliki Ruwat
Bumi yang dilakukan oleh masyarakat karena berterimakasih kepada bumi atas
limpahan hasil bumi yang diberikan. Nina juga mendapatkan hasil penelitian
bahwa terdapat maskot Walantaka, yang disebut dengan Wewe. Maskot ini biasa terdapat dalam prosesi hajat pernikahan.
“Terus
di Walantaka itu ada yang membuat Wewe,
Wewe itu persis sekali seperti ondel-ondel di Jakarta, yang membedakan adalah kenapa dia disebut Wewe karena mukanya yang agak seram, jadi konon menurut ceritanya
ada seorang bapak yang ingin memberikan mainan kepada anaknya, nah anaknya itu
tidak ganteng lalu bapaknya membuat wajah Wewe
seperi wajah anaknya. Ketika boneka itu sudah jadi, jadi teman-temannya itu
memanggilnya Wewe,” ungkapnya.
Akibat sering menggali budaya lokak
melalui penelitian, membuat ia memiliki cita-cita untuk tetap melestarikan
budaya lokal dan menghargai budayawan melalui pendidikan di usia dini salah
satunya. Menurutnya, saat kunjungan sekolah usia dini yang sering dilakukan
oleh setiap sekolah, agar melakukan kunjungan ke budaya lokal, contohnya ke
Walantaka. Selain anak mengetahui budayanya sendiri, budayawan yang terdapat
disana juga ikut terbantu.
“Nih kalau anak TK di Serang
misalnya, kunjungan ke Walantaka, disana itu masih banyak pengrajin Wewe misalnya, selain anak itu tahu, pengarajin jjuga
kena imbasnya. Contoh, satu anak kan biasanya dikenakan biaya, 5000 sampai
10.000 rupiah, itu sudah cukup lalu di kali beberapa anak, nah dari uang itu
pengrajin diberi uang upah mengajari membuat kerajinan kepada anak, kan jadi
terbantu budayawan disana,” jelas Nina Yuliana. (DU/HNI/NEWSROOM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar