Reporter : Ghea Yustika
Redaktur : Mulyani Pratiwi
Ilustrasi
kebebasan seorang pers ketika mencari informasi
dengan menggunakan tanda pengenal pers
(source
: google)
SERANG
– Hari ketiga bulan Mei, diperingati sebagai hari kebebasan pers di dunia. Apa
kabar kebebasan pers di Indonesia? Jika pada saat orde baru kebebasan pers
dibungkam oleh tatanan politik pada masa itu, lalu bagaimana nasib pers dengan
kebebasannya pada masa kini?
Seperti
yang dikutip dalam berita harian OkeZone
seorang tokoh pers, Atmakusumah Astraatmadja menceritakan tentang sejarah pers
di Indonesia.
“Hampir
50 media beraliran kiri, komunis, Soekarnois, dan marhaenis diberedel Soeharto
saat peralihan kepemimpinan. Itu terus dia lakukan sampai 1994 dan puncaknya
dia mundur karena didemo besar-besaran,” jelasnya ketika menceritakan mengenai
pers di masa orde baru.
Atma
mengatakan puncak kegembiraan pers di Indonesia terjadi pada era reformasi,
pada saat itu pula lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Salah satu tanda kebebasan pers di Indonesia muncul, yakni dengan
dilandaskannaya undang-undang tersebut. undang-undang yang berisikan larangan
segala bentuk pemberedelan, penghentian siaran apalagi penutupan kepada media.
Kebebasan
pers yang terbuka lebar saat era reformasi diakui oleh Rifa Nadia, seorang
mantan jurnalis Okezone. Ia menjelaskan
bahwa semakin banyak media massa lahir pada saat itu karena mudahnya
mendapatkan perizinan.
“Setelah
reformasi, perkembangan pers mengarah ke digital. Karena itu, saat ini,
perusahaan media massa online amat banyak. Namun sebagian besar dari media itu
mengusung orientasi gaya hidup karena lebih profitable.” Tambah Nadia ketika
menjelaskan mengenai perbedaan pers saat reformasi dan sekarang (6/5).
Perempuan
yang sudah terjun di dunia pers selama 8 tahun ini mengatakan bahwa persamaan
media dari masa ke masa adalah ketika peran pers sebagai ‘anjing penjaga’ yang
mulai kendur ketika kebertahanan media yang disokong oleh pemodal kuat yang
tidak jarang mereka adalah pegiat politik.
“Suatu
media tidak akan membahas tuntas kasus skandal yang menyangkut si pemilik dan
kroni-kroninya. Namun bisa jadi kasus itu dikupas habis-habisan oleh media
pesaing, yang pemiliknya juga bersaing dalam ranah politik.” Uparnya.
Ketika
melihat realitas yang ada dan dikaitkan dengan teori pers menurut Wilbur
Schramm, Nadia meyakini bahwa saat ini keadaaan pers Indonesia mengacu kepada
point ketiga yaitu pers Libertarian.
“Orang memilih sumber informasi yang
sesuai dengan preferensi mereka. Orang-orang memiliki independensi dalam
menentukan media mana yang menjadi rujukan. Di saat yang sama, media massa juga
makin berorientasi profit dan kepentingan si pemilik modal.” Paparnya.
Menjadi
lebih humanis, makin giat menjalankan fungsi edukasi, serta bertanggung jawab
secara sosial. Itulah yang ia harapkan
kedepannya untuk para pers di Indonesia. (Newsroom/GY/ESW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar